Beruk ©Fiona roger/Naturepl.com
Eksploitasi satwa dalam kegiatan ekonomi bukanlah hal baru. Eksploitasi hewan juga dapat diartikan sebagai bentuk penganiayaan terhadap hewan melalui kekerasan yang dengan sengaja maupun tidak sengaja dilakukan oleh manusia untuk mencari keuntungan dan kesenangan pribadi (Ismantara et al., 2021). Di Indonesia, beruk dikenal sebagai hewan yang cerdas dan mudah dilatih sehingga sejak lama dimanfaatkan untuk membantu manusia memetik buah kelapa. Praktik ini dianggap menguntungkan karena beruk dapat memanjat dengan lincah dan memilih buah yang sudah matang. Namun, seiring meningkatnya kesadaran mengenai kesejahteraan hewan dan konservasi satwa liar, praktik ini menuai kritik dari perspektif etika dan ekologi. Artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran komprehensif mengenai eksploitasi beruk di Indonesia, mulai dari aspek historis, biologis, hingga implikasi sosial dan etika, serta menawarkan alternatif yang lebih berkelanjutan.
Biologi dan Etologi
Beruk
Beruk (Macaca nemestrina) termasuk dalam famili Cercopithecidae. Spesies ini dikenal dengan ekor yang relatif pendek, tubuh kekar, dan kecerdasan tinggi. Mereka hidup berkelompok dengan struktur sosial yang kompleks, dipimpin oleh individu dominan. Di alam liar, beruk menghabiskan waktunya mencari makan, berinteraksi sosial, dan menjaga hierarki kelompok. Tingkat kecerdasan beruk menjadikannya target untuk dilatih dalam berbagai aktivitas manusia, termasuk memetik kelapa.
Tradisi Pemanfaatan Beruk di Indonesia
Sejarah pemanfaatan beruk di Indonesia cukup panjang, terutama di Sumatera Barat dan Lampung. Di Sumatera Barat, praktik ini dikenal luas di daerah Padang Pariaman, Kota Pariaman, Payakumbuh, dan Nagari Sungaisariak. Bahkan, terdapat pasar khusus beruk serta pusat pelatihan beruk untuk melatih satwa ini menjadi pemetik kelapa.
Awalnya beruk menjadi hama bagi para petani karena merusak kebun mereka, sehingga beruk di tangkap dan dijual kepasar dengan range harga Rp.100.000—Rp.300.000. Beruk yang dijuga nantinya akan di pekerjakan sebagai pemetik buah kelapa. Namun beruk harus dilatih terlebih dahulu agar dapat membedakan kelapa yang matang dan mentah, serta memetik dengan efisien.
Beruk yang berada di Sekolah
Tinggi Ilmu Beruk (STIB), Desa Apar, Pariaman (Iggoy el Fitra/Antarafoto)
Di Provinsi Lampung, khususnya Lampung Barat dan Pesisir Barat, masyarakat juga masih memanfaatkan beruk untuk membantu memanen kelapa. Praktik ini menjadi bagian dari tradisi lokal dan dianggap sebagai kearifan budaya, meskipun mulai menghadapi tantangan dari segi kesejahteraan satwa dan etika modern. Menurut supriatna dan wahyono (2000), Satwa secara bertahap dilatih dengan tidak menunjukkan tingkah laku alaminya di alam. Satwa dipaksa untuk melakukan aktivitas yang sifatnya abnormal. Selain itu, proses pengandangannya pun tidak sesuai standar perkandangan (housing) yang dikeluarkan instansi penggunaan hewan baik skala nasional bahkan internasional.
Isu Kesejahteraan Satwa
Beruk yang digunakan di Indonesia sering kali diperoleh dengan cara ditangkap dari alam liar, sehingga dipisahkan dari kelompok sosialnya. Kondisi ini menimbulkan stres, gangguan perilaku, serta cedera fisik akibat kerja berlebihan. Dari perspektif kesejahteraan hewan, eksploitasi ini melanggar prinsip five freedoms yang meliputi kebebasan dari rasa lapar, haus, ketidaknyamanan, rasa sakit, ketakutan, serta kebebasan untuk mengekspresikan perilaku alami.
Aspek Efisiensi Ekonomi
Bagi sebagian besar petani kelapa di Sumatera Barat dan Lampung, pemanfaatan beruk dalam proses panen sejak lama terbukti mampu meningkatkan produktivitas secara signifikan. Seekor beruk yang telah melalui proses pelatihan intensif dapat memetik ratusan buah kelapa dalam satu hari, jumlah yang jauh melampaui kemampuan seorang pekerja manusia. Kecepatan dan ketangkasan beruk dalam memanjat pohon serta kemampuannya membedakan kelapa yang sudah matang menjadikannya aset berharga dalam sistem pertanian tradisional. Oleh karena itu, dalam konteks masyarakat pedesaan yang masih sangat bergantung pada hasil perkebunan kelapa, keberadaan beruk bukan hanya dipandang sebagai hewan pekerja, melainkan juga sebagai bagian dari penopang ekonomi keluarga. Namun, seiring dengan hadirnya mesin panjat dan teknologi pemetik kelapa otomatis, ketergantungan pada tenaga kerja satwa ini mulai berkurang. Dari perspektif jangka panjang, teknologi dinilai lebih efisien, konsisten, dan sesuai etika.
Perspektif Etika dan Sosial di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, praktik ini masih dianggap sebagai bagian dari budaya tradisional di beberapa daerah, terutama di Sumatera Barat dan Lampung. Namun, dari perspektif kesejahteraan hewan, pemanfaatan beruk dalam industri kelapa dinilai sebagai bentuk eksploitasi yang tidak lagi sejalan dengan nilai etika modern. Aktivis hak hewan dan organisasi lingkungan menilai bahwa praktik ini perlu dihentikan secara bertahap.
Konservasi dan Risiko Ekologi
Perburuan beruk dari alam liar di Indonesia menimbulkan ancaman bagi kelestarian populasi satwa ini. Populasi beruk yang terus menurun di beberapa wilayah menjadi peringatan bahwa praktik eksploitasi ini memiliki dampak ekologi serius. Selain itu, interaksi intensif antara manusia dan satwa liar meningkatkan risiko penyebaran zoonosis, yang dapat berdampak pada kesehatan masyarakat.
Alternatif Berkelanjutan di Indonesia
Penggunaan teknologi modern, seperti alat pemetik kelapa mekanis, dapat menjadi solusi yang efektif untuk menggantikan peran beruk dalam proses panen kelapa. Dengan adanya inovasi ini, para petani tidak hanya dapat meningkatkan efisiensi kerja dan hasil produksi, tetapi juga dapat beralih pada metode yang lebih manusiawi serta ramah lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia memiliki peran penting dalam mendukung transisi ini dengan memberikan akses yang lebih luas terhadap teknologi pertanian modern, baik melalui subsidi, bantuan peralatan, maupun program pelatihan bagi petani.
Selain dukungan teknologi, perlu adanya program edukasi yang berfokus pada kesejahteraan satwa untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai dampak negatif dari eksploitasi hewan dalam kegiatan ekonomi. Edukasi tersebut dapat dilakukan melalui kampanye publik, penyuluhan di daerah penghasil kelapa, hingga integrasi dalam kurikulum pendidikan, sehingga pemahaman mengenai pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dapat tertanam sejak dini.
Lebih jauh lagi, pemerintah bersama sektor swasta dapat mengembangkan perkebunan kelapa yang lebih modern dengan menerapkan sistem panen yang aman, produktif, serta tidak melibatkan satwa. Langkah ini tidak hanya akan menjaga kelestarian lingkungan, tetapi juga berkontribusi pada citra positif Indonesia di mata dunia sebagai negara penghasil kelapa yang berkomitmen terhadap praktik pertanian berkelanjutan. Dengan kombinasi antara penerapan teknologi, dukungan kebijakan, dan peningkatan kesadaran masyarakat, Indonesia dapat menciptakan sistem pertanian kelapa yang lebih adil, beretika, dan berorientasi pada masa depan.
Penutup
Eksploitasi beruk sebagai pemetik buah kelapa di Indonesia, khususnya di wilayah Sumatera Barat dan Lampung, memang memiliki nilai historis yang panjang serta kontribusi ekonomi bagi masyarakat tradisional. Selama berabad-abad, praktik ini dipandang sebagai bentuk kearifan lokal sekaligus strategi efektif untuk meningkatkan produktivitas petani kelapa. Selain aspek etika, dampak negatif terhadap kesejahteraan beruk juga menjadi perhatian penting. Proses pelatihan intensif sejak usia dini seringkali melibatkan pengekangan kebebasan dan pembatasan perilaku alami hewan. Beruk yang dipaksa bekerja sepanjang hari menghadapi risiko kelelahan, cedera, bahkan gangguan psikologis akibat keterasingan dari habitat alaminya. Dari sisi ekologi, praktik eksploitasi ini juga berpotensi mengganggu keseimbangan lingkungan karena beruk yang seharusnya menjadi bagian dari ekosistem hutan justru dijauhkan dari perannya dalam menjaga keberagaman hayati.
Melihat berbagai persoalan tersebut, jelas bahwa eksploitasi beruk tidak dapat dipertahankan sebagai praktik berkelanjutan. Oleh sebab itu, transisi menuju teknologi pemanenan kelapa yang lebih modern, ramah lingkungan, dan bebas eksploitasi satwa menjadi sebuah kebutuhan mendesak. Kehadiran alat pemetik kelapa otomatis, mesin panjat, serta sistem perkebunan yang lebih efisien dapat menjadi solusi alternatif yang tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga sejalan dengan prinsip keberlanjutan.
Agar transisi ini dapat berjalan efektif, diperlukan peran aktif dari berbagai pihak. Pemerintah harus hadir dengan regulasi yang tegas untuk membatasi, bahkan menghentikan praktik eksploitasi satwa dalam perkebunan. Selain itu, dukungan dari masyarakat, khususnya para petani, menjadi sangat penting agar teknologi baru dapat diterima dan diimplementasikan dengan baik. Lebih jauh lagi, kesadaran lokal mengenai hak satwa perlu terus ditumbuhkan melalui program edukasi, kampanye sosial, dan penyuluhan, sehingga penghentian praktik ini tidak hanya didorong oleh aturan, tetapi juga lahir dari kesadaran kolektif masyarakat. Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia dapat bergerak menuju sistem pertanian kelapa yang lebih adil, beretika, dan berkelanjutan, tanpa harus lagi mengorbankan kesejahteraan satwa.
Post a Comment
Post a Comment